Jadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini !

Jumat, 16 Desember 2011

“ Bank Syariah Dalam Dunia Perbankan Indonesia”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Lembaga keuangan merupakan instumen penting dihampir seluruh sistem ekonomi dunia. Bank sebagai perantara, di rancang sedemikian rupa untuk mengelola bunga, deposito dan tabungan. Bank berusaha meningkatkan keamaan terhadap semua produk dan memberikan servis yang prima kepada nasabah karena dengan sistem keamaan yang terkendali akan memberikan dampak yang positif bagi pihak bank maupun nasabah. Kinerja sistem perbankan yang sehat akan mendorong minat masyarakat untuk memberikan kepercayaan nasabah untuk menyimpan uang pada bank tersebut. Bersamaan dengan itu dalam dunia perbankan disamping bank konvensional mulai banyak bermunculan instrumen-instrumen atau institusi yang mulai beroperasi. Sebagai contoh dalam bidang keuangan, muncul lembaga-lembaga: Bank Syariah, Asuransi Syariah, Reksadana Syariah dan sebagainya. Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan fenomena yang cukup menarik di tengah-tengah upaya bangsa kita keluar dari krisis ekonomi. Industri keuangan syariah tumbuh dengan berbagai produknya di tengah-tengah masyarakat untuk berinvestasi di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan menerapkan sistem ekonomi syariah dalam aktivitas ekonominya. Keberadaan sistem ekonomi syariah ini sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menentukan kegiatan usaha bank harus disempurnakan dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Landasan operasional sistem perbankan syariah semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1999 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Secara syari'ah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah, yang berdasarkan prinsip ini, bank syari'ah akan berfungsi sebagai mitra, baik denganpenabung, dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib (pengelola), sedangkan penabung bertindak sebagai shohibul maal (penyandang dana). Antara keduanya di adakan akad mudharabah yang mengadakan keuntungan masing-masing pihak, di sisi lain pengusaha atau peminjam dana bank syari'ah akan bertindak sebagai sohibul maal (penyandang dana), baik yang berasal dari penabung atau pun deposito maupun dana bank sendiri berupa modal pemegang saham. Sementara itu, pengusaha atau peminjam akan berfungsi sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank. Sistem bagi hasil yang diterapkan oleh bank sudah berjalan cukup lama seiring dengan berdirinya bank tersebut. Salah satu ukuran keberhasilan penerapan sistem bagi hasil adalah apabila masyarakat sudah sepenuhnya menerima sistem tersebut dengan senang hati, tidak merasa dirugikan, adil dalam pembagian. Bagi hasil dan tentunya tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Hadits. Bank syari'ah berdasarkan pada prinsip profit and loss sharing (bagi untung dan bagi rugi). Bank syari'ah tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank syari'ah dengan para deposan di satu pihak dan antara bank dengan para nasabah investasi sebagai pengelola sumber dana para deposan dalam berbagai usaha produktif di pihak lain.
Sistem ini berbeda dengan bank konvensional yang pada intinya meminjam dana dengan membayar bunga pada satu sisi neraca dan memberikan pinjaman dana dengan menarik bunga pada sisi lainnya. Kompleksitas perbankan Islam tampak dari keragaman dan penamaan instrumen-instrumen yang digunakan serta pemahaman alas dalil-dalil hukum Islamnya.

Dari uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul “ Bank Syariah Dalam Dunia Perbankan Indonesia”

1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan meliputi hal hal sebagai berikut :
Bagaimana ketentuan tentang sistem bagi hasil pada Bank Syariah ?
Bagaimana sistem bagi hasil pada Bank Syariah ?
Apa saja hambatan bagi hasil pada Bank Syariah ?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
- Untuk memahami ketentuan tentang Sistem Bagi Hasil pada Bank Syariah
- Untuk memahami dan menganalisis pelaksanaan Sistem Bagi Hasil pada Bank Syariah
- Untuk memahami hambatan dalam pelaksanaan Sistem Bagi Hasil padaBank Syariah dan solusinya

1.4 Manfaat Penelitian

Penulisan ilmiah ini di harapkan dapat memberikan pengetahuan lebih bagi mahasiswa khususnya dan pihak lain pada umumnya dalam memahami bidang Perbankan Syariah.


1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Objek Penelitian
BTN Syariah

1.5.2 Metode Pengumpulan Data
a. Metode Studi Pustaka
Dilakukan dengan membaca dan menelaah literatur – literatur dan sumber bacaan lain yang relevan dengan topik yang di pilih untuk memperkuat teori yang di gunakan.
b. Pengamatan ( observation)
Dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap objek penulisan dengan meniliti dan mempelajari bukti – bukti atas data mengenai masalah yang di bahas.


1.6 Alat Analisa Yang Di gunakan

Dalam pembahasan dan dalam rangka mencapai tujuan penelitian yang telah di tetapkan, penulis menggunakan analisis kuantitatif yaitu berupa data yang di perlukan yang mendukung penelitian.




BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Konsep Dasar Perbankan Syariah
2.1.1 Pengertian Bank Syariah
Menurut batasan yang terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/8/PBI/2000 pasal 1, pengertian bank syariah adalah :
“Bank umum sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Adapun unit usaha syariah adalah unit kerja di kantor pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah”.
Perbankan syariah beroperasi atas dasar prinsip-prinsip syariah. Prinsip syariah merupakan aturan dasar atau aturan pokok yang berdasarkan hukum Islam. Prinsip ini menjadi landasan aturan muamalat yang mengatur hubungan antara bank dengan pihak lain dalam rangka penghimpunan dan penyaluran dana serta kegiatan perbankan syariah lainnya. Adapun untuk prinsip operasional lainnya, dapat digunakan oleh bank syariah dalam kegiatan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mendapat persetujuan Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional (Muhammad, 2004).



2.1.2 Falsafah Operasional Bank Syariah
Berkaitan dengan kegiatan lembaga keuangan perbankan syariah, maka dasar falsafah operasional bank syariah adalah sebagai berikut (Muhammad, 2002) :
1. Menjauhkan dari unsur riba, caranya :
a. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman, ayat 34);
b. Menghindari penggunaan sistem persentase untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis hutang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Ali-Imron, ayat 130);
c. Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim, Bab Riba No. 1551 s/d 1567);
d. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No. 1569 s/d 1572).

2. Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan.
Dengan mengacu pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisaa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksi didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.


2.1.3 Kegiatan Operasional Bank Syariah
Kegiatan bank syariah baik dalam penghimpunan dana dan penanaman dana maupun pemberian jasa-jasa berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Kantor Bank Syariah, Bank Indonesia (1999) adalah sebagai berikut :
1. Penghimpunan dana
Prinsip operasional syariah yang telah ditetapkan secara luas dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a. Prinsip wadi’ah (prinsip titipan atau simpanan)
Dalam kegiatan penghimpunan dana masyarakat di bank syariah, prinsip wadi’ah dapat diterapkan pada rekening giro dan tabungan (giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah).
b. Prinsip mudharabah (prinsip bagi hasil)
1) Mudharabah muthlaqah
Dalam kegiatan penghimpunan dana pada bank syariah, prinsip mudharabah muthlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening tabungan dan deposito (tabungan mudharabah dan deposito mudharabah).
2) Mudharabah muqayyadah
Jenis ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank syariah.
2. Penyaluran dana
Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar terdapat 4 (empat) kelompok prinsip operasional bank syariah, yaitu prinsip jual beli (bai’), sewa beli (ijarah wa iqtina/ijarah muntahiyyah bit tamlik), bagi hasil (syirkah) dan pembiayaan lainnya. Dalam prakteknya, untuk memperoleh pendapatan yang berasal dari aktivitas non pembiayaan, bank syariah dapat menyediakan jasa-jasa perbankan syariah (fee-based services). Selanjutnya, dalam melakukan fungsi sosial, bank syariah juga melakukan kegiatan pengelolaan dana kebajikan yang diperoleh dari zakat, infaq, shadaqah, hibah, atau dana sosial lainnya. Hal tersebut dinamakan qardhul hasan (pinjaman kebajikan). Qardhul hasan adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Atas jasa pinjaman qardh ini, bank syariah dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi.

2.1.4 Sumber dan Alokasi Pendapatan Bank Syariah
Dana yang telah diperoleh bank syariah akan dialokasikan untuk memperoleh pendapatan. Dari pendapatan tersebut, kemudian didistribusikan kepada para nasabah penyimpan dana (Muhammad, 2004). Sesuai dengan akad-akad penyaluran pembiayaan di bank syariah, maka hasil penyaluran dana tersebut dapat memberikan pendapatan bagi bank syariah. Hal ini dapat dikatakan sebagai sumber-sumber pendapatan bank syariah. Dengan demikian, sumber pendapatan bank syariah dapat diperoleh dari (Muhammad, 2004):
1. Bagi hasil atas kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah;
2. Keuntungan atas kontrak jual-beli (bai’);
3. Hasil sewa atas kontrak ijarah (ijarah wa iqtina/ijarah muntahiyyah bit tamlik);
4. Fee dan biaya administrasi atas jasa-jasa lainnya.

2.1.5 Perbedaan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Secara umum, terdapat perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional yang menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja (Antonio, 2001).

1. Akad dan aspek legalitas
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi akad seperti hal-hal berikut:
a. Rukun, yaitu penjualan, pembelian, barang, harga dan akad/ijab-qabul;
b. Syarat-syarat, yaitu barang dan jasa harus halal, harga barang dan jasa harus jelas, tempat penyerahan (delivery) harus jelas dan barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
2. Lembaga penyelesaian sengketa
Lembaga yang mengatur hukum materi atau berdasarkan hukum syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
3. Struktur organisasi
Struktur organisasi bank syariah terbagi atas :
a. Dewan Pengawas Syariah
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.
b. Dewan Syariah Nasional
Lembaga ini merupakan lembaga otonomi dibawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex-officio).
4. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Dalam perbankan syariah, suatu produk pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, misalnya :
a. Apakah proyek pembiayaan itu halal atau haram ?
b. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat ?
c. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian ?
5. Lingkungan kerja dan corporate culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah.

Tabel 2.1
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional



Bank Syariah


Bank Konvensional
1.      Melakukan investasi-investasi yang halal saja;
2.      Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa;
3.      Profit dan falah oriented;
4.      Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan;
5.      Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
1.      Investasi yang halal dan haram;

2.      Memakai perangkat bunga;

3.      Profit oriented;
4.      Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-kreditur;
5.      Tidak terdapat dewan sejenis.

2.2 Sistem Bagi Hasil

2.2.1 Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil menurut terminologi asing (bahasa Inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definisi profit sharing diartikan "distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu Perusahaan". Menurut Antonio, bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib). Dengan demikian dari kedua pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagi hasil adalah suatu sistem pengelolaan dana dalam pembagian hasil usaha dapat terjadi antara bank dan penyimpan dana
.
2.2.2. Sistem Bagi Hasil ( Profit Sharing )
Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan dasar operasional bank syari'ah secara keseluruhan secara prinsip dalam perbankan syari'ah yang paling banyak dipakai adalah akad utama a/-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzaro'ah dan al-musakoh di pergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan oleh beberapa bank Islam. Produk bank yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah :
a. Al-Musyarakah
Menurut Antonio , al musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Manan mengatakan, musyarakah adalah hubungan kemitraan antara bank dengan konsumen untuk suatu masa terbatas pada suatu proyek baik bank maupun konsumen memasukkan modal dalam perbandingan yang berbeda dan menyetujui suatu laba yang ditetapkan sebelumnya, lebih lanjut Manan mengatakan bahwa sistem ini juga didasarkan atas prinsip untuk mengurangi kemungkinan partisipasi yang menjerumus kepada kemitraan akhir oleh konsumen dengan diberikannya hak pada bank kepada mitra usaha untuk membayar kembali saham bank secara sekaligus ataupun secara berangsur angsur dari sebagian pendapatan bersih operasinya. Menurut Muhammad, musyarakah adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu obyek dimana masing-masing pihak berhak ( atas segala keuntungan dan tanggungjawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaan masing-masing.Lalu menurut Sudarsono musyarakah adalah kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak atau memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Keempat pendapat tersebut mendefinisikan musyarakah sama, sehingga dapat diambil kesimpulan musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan, kesepakatan yang ditentukan di awal perjanjian.
b). Pembiayaan Proyek
Al-mudharabah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana konsumen dan bank menyediakan untuk pembiayaan proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, konsumen memgembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati oleh bank.
c). Al-Muzara’ah
Menurut Antonio Al-Muzara’ah adalah kerjasama pengelola pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan mcmberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen. Dalam konteks lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi konsumen yang bergerak dalam bidang plantation atau pertanian atas dasar prinsip bagi hasil dari panen.
d). Al- Musaqah
Menurut Antonio, al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaro’ah dimana si penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan sabagian imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tersebut dari hasil panen.

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum prinsip-prinsip bagi hasil yang digunakan dalam perbankan adalah mudharabah dan musyarakah. Mudharabah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana salah satu pihak menyediakan dana seluruhnya dan pihak lain menjadi pengelola dan apabila terjadi kerugian di tanggung oleh pihak yang mempunyai modal selama kerugian bukan kelalaian atau disengaja oleh pengelola, Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan. Keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan ditentukan di awal perjanjian.

2.2.3 Perbedaan Bagi Hasil dengan Bunga
Bank syari'ah berdasarkan pada prinsip profit and loss sharing (bagi untung dan bagi rugi). Bank syari'ah tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank syari'ah dengan para deposan di satu pihak dan antara bank dan para nasabah investasi sebagai pengelola sumber dana para deposan dalam berbagai usaha produktif di pihak lain. Sistem ini berbeda dengan bank konvensional yang pada intinya meminjam dana dengan membayar bunga pada satu sisi neraca dan memberi pinjaman dana dengan menarik bunga pada sisi lain. Kompleksitas perbankan Islam tampak dari keragaman dan penamaan instrumen-instrumen yang digunakan serta pemahaman dalil-dalil hukum Islamnya. Perbankan Syari'ah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum muslimin menarik atau membayar bunga (riba). Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur'an dan As Sunnah. Kedua sumber ini menyatakan bahwa penarikan bunga adalah tindakan pemerasan dan tidak adil sehingga tidak sesuai dengan gagasan Islam tentang keadilan dan hak-hak milik. Pembayaran dan penarikan bunga sebagaimana terjadi dalam sistem perbankan konvensional secara terang-terangan dilarang oleh Al-Qur’an, sehingga para investor harus diberi konpensasi dengan cara lain. Perbedaan yang mendasar antara sistem keuangan konvensional dengan Syari'ah terletak pada mekanisme memperoleh pendapatan, yakni bunga dan bagi hasil. Dalam hukum Islam lama (fiqh), bagi-hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah. Kedua bentuk perjanjian keuangan itu dianggap dapat menggantikan riba, yang mengambil bentuk "bunga". Antara bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana. Namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 2.2
Perbedaan Sistem Bagi Hasil dan Sistem Bunga

Hal
Sistem Bagi Hasil
Sistem Bunga
a)         Penentuan besarnya
         hasil
Penentuan besarnya bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung-rugi.
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
b)      Yang ditentukan
        sebelumnya
Menyepakati besarnya rasio/proporsi bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
Besarnya persentase (bunga, besarnya nilai rupiah) berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
c)          Jika terjadi kerugian
Ditanggung kedua belah pihak, nasabah dan lembaga keuangan syariah.
Ditanggung oleh nasabah peminjam saja.
d)        Dihitung darimana ?





Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan, belum tentu besarnya.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah itu untung atau rugi.
e)         Titik perhatian
         proyek/usaha
Keberhasilan proyek/usaha jadi perhatian bersama, nasabah dan bank syariah.
Besarnya bunga yang harus dibayar nasabah/pasti diterima bank.
f)         Berapa besarnya
Proporsi (%) kali jumlah untung yang belum diketahui = belum diketahui.
Pasti : (%) kali jumlah pinjaman yang telah pasti diketahui.
g)        Status hukum
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil, melaksanakan QS. Luqman : 34.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam. Berlawanan dengan QS. Luqman : 34.



2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil di Bank Syari'ahKontrak mudharabah adalah suatu kontrak yang dilakukan oleh minimal dua pihak. Tujuan utama kontrak ini adalah memperoleh hasil investasi. Besar kecilnya investasi di pengaruhi banyak faktor. Faktor pengaruh tersebut ada yang berdampak langsung dan ada yang tidak langsung.

a. Faktor langsung
Diantara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio).
1. Investmen rate merupakan prosentase aktual dana yang dapat diinvestasikan dari total dana yang terhimpun. Jika 80 % dana yang terhimpun diinvestasikan, berarti 20 % nya dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas.
2. Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber yang dapat diinvestasikan. Dana tcrsebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode :
Rata-rata saldo minimum bulanan; Investment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk investasi akan menghasilkan jumlah dana aktual yang
digunakan.
3. Nisbah (profit sharing ratio)
a) Salah satu ciri al mudharafah adalah nisbah yang harus ditentukan sesuai persetujuan di awal perjanjian.
b) Nisbah antara satu bank dengan bank lain dapat berbeda.
c) Nisbah antara satu bank dengan bank yang lainnya dapat berbeda.
d) Nisbah dapat berbeda dari waktu kewaktu dalam satu bank, misalnya deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan.

b. Faktor Tidak Langsung
Faktor tidak langsung yang mempengaruhi bagi hasil adalah:
1). Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya muddharabah
a).Bank dan nasabah melakukan share pendapatan yang dibagi hasilkan adalah pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya.
b).Jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing.
2). Kebijakan akunting (prinsip dan metode akutansi)
Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh jalannya aktivitas yang diterapkan, terutama dengan pengakuan pendapatan dan biaya


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah Bank Syariah yaitu Bank BTN Syariah.

3.1.2 Metode Pengumpulan data atau Variabel
Guna memperoleh data yang benar dalam penelitian, pelaksanaan penelitian dilakukan dengan cara atau teknik yang dirasa relevan dengan data yang diperoleh. Secara garis besar, data yang dicari adalah data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Berdasarkan hal tersebut, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1.Metode Studi Pustaka
Dilakukan dengan membaca dan menelaah literatur – literatur dan sumber bacaan lain yang relevan dengan topik yang di pilih untuk memperkuat teori yang di gunakan..
b. Pengamatan ( observation)
Dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap objek penulisan dengan meniliti dan mempelajari bukti – bukti atas data mengenai masalah yang di bahas.


3.1.3 Alat Analisa Yang Di gunakan
Dalam Pembahasan dan dalam rangka mencapai Tujuan penelitian yang telah di tetapkan , penulis menggunakan analisis kuantitatif yaitu berupa data yang di perlukan yang mendukung penelitian.

3.2. Hasil Penelitian
3.2.1 Ketentuan-ketentuan tentang Sistem Bagi Hasil
a. Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian
Dalam suatu perjanjian Mudhorobah dan Musyarokah para Fuqaha berbeda pendapat dalam kebolehan ditentukannya jangka waktu berlaku. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama : Madzhab Hanafi dan Hambali :
“Kalau seandainya Mudhorobah ditentukan jangka waktu berlakunya dan jika telah lewat masa berlakunya, maka akadnya dianggap batal dengan sendirinya adalah diperbolehkan”.
Karena Mudhorobah menerima ketentuan khusus yang bermanfaat dan ketentuan waktu ini adalah bermanfaat karena perniagaan itu adalah relative tergantung pada tempat, jenis komoditi perdagangan, waktu dan orang-orang Mitra dagang, selama tidak merugikan modal. Demikian pula merupakan suatu keharusan komitmen dengan persyaratan yang disetujui bersama, kecuali syarat yang menghalalkan hal haram dan mengharamkan hal halal.
Kedua : Madzhab Maliki dan Syafi’i
“Penentuan itu tidak dibolehkan dan tidak sah karena melakukan usahanya dan merusak tujuan dari Mudhorobah, sebab mungkin ia tidak mendapatkan keuntungan dalam waktu yang ditentukan, padahal mungkin keuntungan baru akan didapatkan setelah lewat waktu yang telah ditentukan itu”.

b. Penarikan Modal dan Pembatalan Perjanjian
Pada dasarnya Musyarokah dan Mudhorobah itu adalah boleh atau tidak mengikat. Kedua belah pihak diperbolehkan untuk membatalkannya kapan pun mereka mau, dengan syarat modal tersebut sudah dalam bentuk uang tunai dari rupiah atau dollar. Dengan demikian pemilik modal boleh menarik kembali modalnya sewaktu-waktu dan Mudhorib mendapatkan konpensasi yang lazim atau
konpensasi dengan standar konvensional atau sesuai kesepakatan antara keduanya bila mudhorib telah mulai usahanya.

c. Agunan atau Jaminan dan Penyitaan
Musyarokah dan Mudhorobah pada dasarnya suatu akad yang berlangsung atas dasar amanah dan wakalah, si Mudhorib menjadi seorang yang terpercaya bagi sohibul maal yang berakad dengannya. Sementara itu modal yang ada ditangannya adalah merupakan amanat, karena ia menerima dan mengelolanya atas izin dari sohibul maal. Demikian pula mudhorib menjadi wakil dari sohibul maal ketika mengelolanya dengan mengembangkannya dalam perniagaan, karena pengelolanya dengan izin sohibul maal maka hal itu merupakan realisasi dari arti wakalah. Pada prinsipnya dalam Musyarokah dan Mudhorobah, orang yang menerimanya tidak berkewajiban untuk menjamin kerugian atau kehilangan dari harta modal, bila tidak ada unsur kesengajaan dan keteledoran, karena ia menjadi orang yang dipercaya. Dengan pertimbangan hal itu maka diperbolehkan bagi pemilik modal untuk meminta agunan/jaminan dari pengelola sebagai jaminan yang telah menjadi suatu kebutuhan bagi kontrak syarikat mudhorobah.

d. Bagi Hasil Keuntungan
Dalam Musyarokah dan Mudhorobah, keuntungan akan dibagi antara pemilik modal dengan pengelola usaha dan pembagian keuntungannya sesuai dengan kesepakatan dalam akad tersebut. Namun demikian ada permasalahan tentang keuntungan yang akan dibagi, apakah keuntungan kotor atau keuntungan bersih. Keuntungan bersih adalah merupakan keuntungan yang telah diambil atau dikurangi biaya-biaya dalam usaha. Termasuk nafkah pengelola yang meliputi biaya transportasi dan akomodasi, kecuali bila modal yang dikelola itu dalam jumlah kecil sehingga jika pengeluaran (nafkah) pengelolaan ditanggung dalam uang modal, maka akan merugikan pemilik modal, karena modal tersebut hanya untuk kepentingan pengelola saja. Pengelola tidak mengambil semua bagiannya sendiri dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan sohibul maal (pemilik modal), sehingga pemilik modal tidak dirugikan.



e. Hak Kepemilikan Modal dan Penggunaan Modal
Akad Musyarokah Mudhorobah adalah milik bersama antara pemilik modal dan pengelola usaha, namun hak kepemilikannya secara terperinci adalah modal Mudhorobah, tetapi menjadi hak milik sohibul maal. Adapun keuntungan yang dihasilkan dari usaha syarikat Mudhorobah tersebut menjadi milik bersama dan pembagian hak kepemilikannya menurut nisbah bagi hasil yang telah disepakati bersama seperti telah dijelaskan di atas. Jadi pengelola tidak berhak mengambil bagian dari keuntungannya tanpa sepengetahuan atau kehadiran pemilik modal dan sebaliknya juga demikian.

f. Sanksi Bagi Mudhorib (Pengelola)
Sebagaimana diperbolehkannya bagi pemilik modal untuk menetapkan syarat-syarat yang harus ditepati oleh mudhorib dalam penggunaan modal Mudhorobah, maka pemilik modal juga diperbolehkan untuk menetapkan sanksi dalam akad Mudhorobah kepada mudhorib bila melanggar syarat-syarat pemilik modal.

g. Pemilik Modal Ikut Mengelola Usaha
Pengelola usaha dalam Musyarokah Mudhorobah merupakan kewajiban dan hak bagi Mudhorib (pengelola), dialah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan modal dengan usahanya.

h. Pemilik modal bisa tunggal dan berserikat
Dalam hal Musyarokah Mudhorobah modal bisa berasal dari sohibul maal tunggal dan dari beberapa sohibul maal atau disebut modal kolektif, yaitu bentuk jumlah pemilik modal dan Mudhorib seperti halnya modal serikat Mudhorib atau lebih untuk melakukan usaha padanya dan keuntungan dari hasil usaha tersebut dibagi sesuai kesepakatan mereka. Demikian pula Mudhorib dapat bergabung dengansyarikat musyawarah, modal milik dua orang yang berserikat atau lebih dengan kesepakatan bahwa usaha atau kerjanya adalah dilakukan oleh salah seorang dari mereka saja.

i. Perhitungan Bagi Hasil
Pengumpulan dana yang dilakukan oleh Bank Syariah yang berasal dari para nasabah, para pemilik modal atau dana titipan dari pihak ketiga perlu dikelola dengan penuh amanah dan istiqomah, dengan harapan dana tersebut mendatangkan keuntungan yang besar, baik untuk nasabah maupun syariah. Prinsip utama yang harus dikembangkan bank syariah dalam kaitan dengan manajemen dana adalah bahwa Bank Syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana, minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah daripada bunga yang berlaku di bank konvensional. Oleh karena itu upaya manajemen dana bank syariah perlu dilakukan secara baik. Semakin baik manajemen dana bank syariah akan menunjukkan kredibilitas kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya, sehingga arah untuk mencapai likuiditas bank syariah akan dapat tercapai.

3.2.2 Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil pada BTN Syariah
Belakangan ini ada suatu peningkatan kepentingan terhadap kajian bidang perbankkan syariah. Salah satu aspek pendorong transaksi syariah adalah dengan munculnya system perbankkan syariah itu sendiri. Di pihak lain, aspek-aspek transaksi perbankkan konvensional tidak dapat diterapkan pada lembaga yang menggunakan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, perlu adanya standar yang cocok bagi bank syariah. Hal ini juga didorong oleh kebutuhan akan rasionalitas kerangka konseptual pelaporan keuangan bank syariah. Beberapa isu lain yang mendorong munculnya transaksi syariah adalah masalah harmonisasi standar internasional di Negara-negara Islam. Usulan pemformatan laporan bidang usaha Islam dan kajian ulang filsafat tentang konstruksi etika dalam pengetahuan transaksi serta penggunaan syariah sebagai petunjuk dalam pengembangan teori. Perbankan syariah menyoroti beberapa kelemahan yang ada, namun masih gagal untuk mengenali hambatan politik dan ekonomi yang ada dalam pengembangan transaksi syariah. Disamping itu, mengabaikan pembahasan tentang peranan transaksi dari perspektif Islam baik dalam tatanan mikro maupun makro. Selanjutnya adalah bahwa dalam pengembangan kerangka konseptual yang “koheren” untuk transaksi syariah merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu hal ini memberikan argumentasi bahwa penyesuaian dan modifikasi transaksi konvensional yang didasarkan pada nilai-nilai barat, yang tidak cocok dengan nilai Islam. Perlu dibangun kerangka konseptual transaksi syariah, sehingga transaksi tersebut dapat diterima sebagai suatu paradigma baru dalam bidang transaksi. Ide transaksi bank konvensional saat ini dikembangkan berdasarkan ide barat yang digunakan di seluruh dunia dan system tersebut dikenal sebagai system yang paling baik di masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena ditandai dengan eksplorasi teknologi transaksi yaitu: teknik, institusi, dan konsep dari asosiasi profesional yang sangat dominan melalui kolonisasi, pendidikan, pengembangan perdagangan dan usaha harmonisasi internasional khususnya di negara Islam seperti Malaysia dan Pakistan mencoba mengadaptasi bahkan mengadopsi seluruh ide sebagai usaha minimal. Demikian pula, pengenalan beberapa konsep dan nilai mendasar transaksi bank konvensional saat ini adalah bersifat kontradiksi bagi masyarakat Islam. Sebab secara mendasar hal tersebut berhubungan dengan bunga atau riba. Riba adalah sesuatu yang diharamkan. Disamping itu, ada beberapa unsur yang masuk dalam kategori gharar. Banyak isu lain, sebagaimana yang diharapkan oleh para bankir muslim. Demikian juga Dewan Pengawas Syariah yang secara efektif mengontrol mekanisme perbankan syariah. Masalah penting yang harus diselesaikan adalah perlunya transaksi syariah yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur aktivitas, pengukuran tujuan, control dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip syariah, dengan memfokuskan pada dua ide dasar dalam Bank konvensional yang diterima sebagai problematika dan tidak sesuai dengan orang muslim. Masalah pertama, berhubungan dengan fondasi filsafat, dan kedua, berhubungan dengan peran dan fungsi transaksi dalam masyarakat. Salah satu masalah yang berhubungan dengan rasionalisme adalah menekankan pada sifat manusia yang selalu mementingkan diri sendiri. Hal ini bertentangan dengan kepentingan kolektif masyarakat luas. Di samping masalah kepentingan sendiri juga berhubungan dengan upaya maksimalisasi kekayaan. Problematika yang lebih besar lagi dalam perspektif rasionalisme adalah pemisahan agama dari aktivitas ekonomi. Problem seperti ini, juga mempengaruhis pada seluruh dimensi atau aspek ekonomi konvensional. Islam bukanlah agama yang sekedar memperkenalkan sistem aqidah ( Al – Islamlaysa Muyarrodu Aqidah) .Problem lainnya adalah berhubungan dengan masalah efisiensi alokasi Al – Islam adalah agama kerja ( Dinun Amaliyun ) sumber daya yang didasarkan pada mekanisme pasar akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kekayaan. Namun kenyataanya, ekonomi akuntansi konvensional secara nyata telah menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian serta menimbulkan konflik antar berbagai macam kelas yang ada dalam masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah rasionalisme sebagai suatu dasar dalam pengembangan transaksi syariah saat ini. Di dalamnya terdapat tiga gambaran kontradiktif menurut pandangan Islam, yaitu: Pertama, transaksi konvensional didasari oleh penolakan agama dan metafisika serta menempatkan Negara sebagai kekuatan yang berkuasa. Hal ini dikembalikan dengan konsep Islam. Bagi orang muslim, syariah merupakan suatu kekuatan petunjuk yang mengarahkan suatu aspek kehidupan manusia dan mempertanggungjawabkan secara penuh kepada Tuhan. Kedua, kepercayaan dan nilai dasar konvensional yang berdasarkan pada konsep kepentingan pribadi tanpa memperdulikan kepentingan sosial. Ketiga, transaksi konvensional mempercayai bahwa manusia tidak memiliki konsepsi “inhered” mengenai keadilan, tetapi manusia memiliki sifat pengambil peluang. Ketiga pandangan diatas menunjukkan, bahwa konsep transaksi kovensional cenderung hanya melihat manusia sebagai homo economicus. Dalam Islam, manusai tidak hanya dikenal sebagai homo economicus, tetapi juga sebagai homo ethiocus dan homo religius. Berdasarkan ketiga keterbatasan diatas, maka perlu dipikirkan paradigma transaksi alternative yang mengandung aspek baik teknik maupun sosial dengan berdasarkan pada rasionalitas dengan mempertimbangkan agama. Selanjutnya, paradigma alternative ini harus juga dapat mengakomodasikan keseimbangan antara kepentingan pribadi maupun kepentingan sosial. Bagi seorang muslim transaksi syariah nampaknya dapat menyatukan seluruh aspek kehidupan manusia sebagai prinsip-prinsip dasarnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat digarisbawahi bahwa terdapat problematika dalam bank syariah antara lain sebagai berikut :
Pertama : Belum ada standar yang cocok bagi bank syariah dalam format pelaporan keuangan secara internasional.
Kedua : Berhubungan erat dengan fondasi filasafat dan peran/fungsi transaksi dalam masyarakat.
Ketiga : Pemisahan agama dari aktifitas ekonomi

3.2.3 Hambatan-hambatan
Perjalanan sejarah Lembaga Keuangan Islam telah berjalan kurang lebih enam tahun. Umur ini telah cukup representatif bila dilakukan penilaian terhadap perkembangannya. Sehingga wajar bila akhir-akhir ini banyak sorotan yang terlontar dari masyarakat, baik yang positif maupun negative. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-Undang Perbankan Syariah No.10 tahun 1998, didalamnya mencakup sistem perbankan bagi hasil dan bank syariah, yang selanjutnya berkembang sistem perbankan syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia, BPR syariah, dan ditambah lagi Baitul Mal wat Tamwil, keberadaan lembaga keuangan ini, kini telah menjadi bahan kajian menarik untuk dipelajari. Banyak sorotan pendapat yang mengatakan bagi hasil dan mark-up yang diberikan oleh sistem perbankan syariah sama saja dengan bunga bank konvensional. Prosentase dan jumlah rupiahnya adalah tidak berbeda. Dari sini timbul pertanyaan mendasar, apakah ini merupakan fenomena yang sama yang dialami seperti pada zaman Rasulullah Saw, bahwa orang Arab Jahiliyah mengatakan jual beli sama dengan riba, atau bahkan menjadi sebuah tantangan bagi para pengelola perbankan syariah dalam melakukan konsolidasi dan reaktualisasi ?
Kehadiran lembaga keuangan syariah di persada ini memiliki misi khusus. Misi yang paling utama adalah misi sosial dan bisnis. Berkaitan dengan ini, lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah, disamping membawa misi juga sekaligus membawa beban yang membuatnya harus dikelola secara ekstra ketat. Hal ini harus dipahami dan disadari betul oleh para pengelola bank syariah, mereka harus mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk dunia akhirat. Bank syariah membawa misi keadilan, maka untuk dapat menjalani usaha yang halal harus diawasi oleh Dewan Syariat. Jika ada sekelompok orang mau mendirikan bank syariah, akan dibela mati-matian jangan sampai bank syariah itu rusak atau bahkan bubar, karena disitu ada misi. Bukan saja kemungkinan banknya yang rugi, tetapi disitu membawa nama syariat. Dengan demikian, bahwa dalam pengelolaannya adalah lebih rawan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Bisnis perbankan syariah merupakan suatu bisnis yang mencoba memadukan konsep kebersamaan dalam berusaha dan menjalankan perlombaan antara nasabah dengan para pengelola dalam mendapatkan keberuntungan dunia akhirat. Sebagai institusi bisnis yang masih berada pada tahap awal perkembangan, Bank Syariah di tanah air sampai saat ini masih menghadapi berbagai hambatan, antara lain masih adanya sebagian masyarakat kita yang salah persepsi tentang bank syariah dan kurang memahami konsep bunga dari Bank Syariah sehingga menganggap sistem bagi hasil bank syariah lebih merugikan bila dibandingkan sistem bunga bank Konvensional. Perbedaan mencolok pada bank konvensional dengan bank syariah adalah tentang pengembalian modal yang dipinjam, dimana bank konvensional dalam akad, sedangkan bank syariah dengan terlebih dahulu menghitung keuntungan atas usaha dengan modal yang dipinjamkan oleh bank dan kemudian membaginya pada kedua belah pihak baik peminjam ataupun pihak bank. Berdasarkan perbedaan mendasar yang terjadi antara bank konvensional dan bank syariah ini terjadi hambatan-hambatan yaitu :

1. Persepsi Masyarakat tentang Sistem Bagi Hasil
Persepsi masyarakat yang menganggap bahwa keuntungan nasabah yang melakukan akad kredit untuk usaha/investasinya yang didapat dari bank syariah pada akhirnya saat pengembalian kredit bila dihitung-hitung ternyata lebih banyak jumlahnya bila dibandingkan dari sistem bunga pada bank konvensional, sehingga nasabah merasa rugi, dan akhirnya memilih bank konvensional sebagai tempat kredit. Hal ini dapat dipahami karena sistem bagi hasil dihitung berdasarkan jumlah laba yang diperoleh berdasarkan dari modal yang dipinjamkan. Sedangkan pada bank konvensional, bunga sudah ditetapkan pada saat akad kredit sehingga laba yang besar yang diperoleh oleh nasabah akan dapat dinikmatinya sendiri. Ditambah lagi dengan masih adanya silang pendapat diantara umat Islam tentang suku bunga dilihat dari hukum Islam. Ada ulama yang mengharamkan bunga bank (riba), sementara ada juga ulama yang membolehkan rente dalam transaksi pinjam-meminjam asalkan tidak untuk tujuan konsumsi. Ketidakpastian pendapat ulama ini akhirnya berpengaruh pada umat Islam untuk mengambil bank konvensional dalam memperoleh kredit. Ada beberapa hambatan dalam rangka menunjang keberhasilan operasional perbankan syariah sebagai berikut :
1. Belum adanya kesiapan nasabah menerima bagi hasil yang rendah atau tanpa imbalan sama sekali
2. Setelah bank syariah memperoleh laba riil, maka nasabah mulai memperoleh bagi hasil
3. Belum dipahami nasabah bahwa pada tahap awal, khususnya pada masa 3 bulan pertama kondisi masih zero. Sebab pada tahap ini Bank memulai dengan modal saja, tanpa tabungan. Dan mungkin baru kira-kira enam bulan, Bank baru mendapatkan tabungan. Bagaimana persaingannya dengan bank konvensional ? Bolehkah bank syariah mengambil kebijakan bagi hasil setara dengan tingkat bunga yang berlaku. Ini akan menjadi beban jika masih mengambil dari modal, nanti pertanggung-jawabannya kepada pemegang saham bahwa modalnya semakin berkurang atau pendapatannya kecil. Ini bisa dilakukan, tetapi harus diingat bahwa kalau beban itu digeserkan kepada yang meminjam, orang tidak akan lagi membedakan apa itu bank syariah atau bank konvensional, sehingga akan fatal akibatnya. Ciri-ciri bank syariah yang melakukan praktek semacam itu dapat terlihat, yaitu : Pertama, jika pembiayaan Baiu Bitsaman Ajil atau Murabahah mahal, mark-upnya tinggi. Jika pembiayaan dengan sistem bagi hasil, maka bank yang menentukan, bukan hasil musyawarah dengan debitur. Sedangkan pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah (bagi hasil), yang mengetahui tentang usaha itu adalah mudharib (debitur). Sama halnya pada bank, maka banklah yang mengetahui usahanya, bukan deposan sehingga bank berani menentukan bagi hasil tabungan dan deposito. Di sisi penyaluran dana, karena mudharib yang mengetahui, dialah yang menentukan. Kalau sudah lain, timbul pertanyaan apakah bank syariah atau bukan. Bahkan kadang-kadang lebih mahal sehingga masyarakat bingung, jika tidak diambil, ini bank syariah, namun jika diambil akan memberatkan. Padahal masyarakat sudah terlanjur ingin terbebas dari bunga karena riba. Tetapi karena tidak ada alternatif lain, maka tetap diambil meskipun berat. Hal paling rawan lagi adalah bank syariah yang telah menerapkan
pembiayaan mudharabah (pembiayaan yang seratus persen dananya disediakan oleh bank), yaitu pada kepercayaan. Bank percaya atau tidak, apabila nasabah mengeluarkan biaya-biaya sebagaimana yang ia laporkan. Inilah kesulitannya, yaitu semua aparat dari manajemen bank sampai kepada mudharib semua harus benar dan jujur (amanah). Persaingan dunia perbankan di tanah air kita sekarang ini semakin ketat, apalagi dengan adanya depresiasi rupiah, maka masing-masing bank berusaha memberikan suku bunga yang tinggi. Dalam kondisi ini, bagaimana sikap bank syariah dalam kaitannya dengan upaya operasionalnya.

2. Operasional Bank Syariah dalam Praktek Perbankan Indonesia
Sebagai suatu institusi yang baru di Indonesia, lembaga keuangan yang menganut sistem bank syariah antara lain menemui
hambatan/permasalahan sebagai berikut :
a. Lembaga keuangan Sistem Bank Syariah mengacu pada UU Perbankan No 7/1992 dan Peraturan Pemerintah No 72/1992. Dengan demikian lembaga keuangan Sistem Bank Syariah masuk dalam ukuran bank konvensional, sehingga dalam produk-produknya harus menyesuaikan dengan perundangan yang berlaku.
b. Jumlah bank-bank konvensional yang cukup banyak, yang beroperasi sampai pada tingkat-tingkat kecamatan bahkan sampai di desa-desa. Ini berarti persaingan cukup berat dihadapi oleh bank dengan Sistem Bank Syariah, karena bank-bank syariah baru beroperasi pada tingkat kota-kota besar di Indonesia.
c. Umat Islam di Indonesia telah mengenal dunia perbankan sejak lama, tetapi dengan lembaga keuangan Sistem Bank Syariah belum begitu akrab. Akibatnya terdapat kesulitan dalam menerapkan sistem bagi hasil dalam pemberian kredit. Kredit yang disalurkan masih sangat minim bila dibandingkan dengan total dana masyarakat yang
terhimpun.
d. Perkembangan produk bank konvensional yang sangat bervariasi dengan iming-iming hadiah yang sangat menggiurkan. Sementara produk bank berdasarkan Sistem Bank Syariah belum banyak dikenal umat Islam.
e. Aplikasi teknologi canggih oleh bank-bank konvensional dalam rangka pelayanannya akan semakin menyulitkan keuangan dengan Sistem Bank Syariah untuk mengimbanginya.




BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sistem bagi hasil pada dasarnya adalah suatu sistem pengelolaan dana atas pembagian hasil usaha antara pihak Bank dan penyimpan dana ataupun pihak pengelola dana, baik berupa keuntungan ataupun kerugian, dengan ketentuan yang berdasarkan kesepakatan / perjanjian dimana pihak pengelola mendapat bagian lebih besar atau lebih kecil dari pada pemilik modal, tergantung pada kesepakatan dalam akad / perjanjian. Kedudukan pemilik modal dengan pengelola modal adalah sejajar, karena pemilik modal dan pengelola saling berkepentingan dan saling membutuhkan. Inti daripada sistem bagi hasil terletak pada kesepakatan dalam akad / perjanjian yang harus ditaati oleh kedua belah pihak karena dalam syariah Islam bahwa janji harus ditaati (Al- Hadist). Selain itu hambatan dalam pelaksanaan Sistem Bagi Hasil pada Bank Syariah antara lain . Belum ada standarisasi yang cocok bagi Bank Syariah dalam format administrasi secara Internasional dan umat Islam cenderung memisahkan antara kegiatan Agama dan kegiatan ekonomi kemudian persepsi sebagian umat Islam yang kurang memahami konsep Sistem Bagi Hasil sehingga mereka menilai bahwa operasional Bank Syariah masih kalah dengan Bank Konvensional baik kwalitas maupun kwantitasnya lalu belum adanya komitmen yang kuat dari calon nasabah tentang nilai-nilai spiritual dan keadilan. Penabung menginginkan bunga tinggi sedangkan
peminjam menginginkan bunga rendah, sementara jika mengikuti keinginan ini maka Bank yang menurun dan tidak optimal serta belum adanya dukungan secara konkrit dari Pemerintah terhadap lembaga keuangan dengan sistim Bank Syariah antara lain adanya perundangundangan khusus yang mengatur tentang sistim Bank Syariah dan yang terakhir bank Syariah baru didirikan di kota-kota besar di Indonesia dan belum menjangkau sampai ke kota-kota kecil, kecamatan- kecamatan maupun di desa.

4.2 Saran
Untuk mengatasi permasalahan maupun hambatan dalam pelaksanaan Sistem Bagi Hasil pada Bank Syariah diperlukan langkah-langkah antara lain agar ditingkatkan kesadaran tentang persepsi dan komitmen kepada calon nasabah melalui sosialisasi khususnya tentang Sistem Bagi Hasil pada Bank Syariah dan produk-produk lainnya melalui berbagai media agar ditumbuhkannya tekad yang kuat dan istiqomah dimulai dari pengelola serta memiliki sumber daya manusia yang professional, memahami dan trampil tentang konsep syariah dan operasional serta memberikan pengertian kepada nasabah atau calon nasabah yang mempunyai sikap istiqomah pula.. Agar lebih ditingkatkannya dukungan dari pemerintah terhadap perkembangan kemajuan lembaga keuangan dengan sistim Bank Syariah.



DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

Hamidi, M. Luthfi Hamidi (2003). Jejak-jejak Ekonomi Syariah. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.

Karim, Adiwarman A (2003). Bank Islam : Analisa Fiqih dan Keuangan. Jakarta:
      International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia.

Muhammad (2004). Manajemen Dana Bank Syariah. Yogyakarta: Jalasutra.

Muhammad (2002). Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman. Yogyakarta : Ekonisia.

http://google.com/